Aksara jawa: 2016

Sunday, November 13, 2016

Aksara Jawa



Javanese ha.svg Artikel ini memuat aksara Jawa. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari aksara jawa.
Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka dan Carakan adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa sunda dan bahasa sasak Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara bali.
Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad ke-19. Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf Latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.

Ciri-ciri

Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi , dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. Selain itu, dibanding dengan alfabet latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung.
Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulis bahasa jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca, dan angka Jawa. Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).
Kebanyakan aksara selain aksara dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retrofleks yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno karena dipengaruhi bahasa sansekerta. Selama perkembangan bahasa dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan berubah fungsi.
Sejumlah tanda diakritik yang disebut sandhangan berfungsi untuk mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing. Beberapa tanda diakritik dapat digunakan bersama-sama, namun tidak semua kombinasi diperbolehkan.

Sejarah

Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern Aksara kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar.[2] Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ortografi yang tetap. Pada abad ke-17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan[5] atau hanacaraka berdasarkan lima aksara pertamanya.
Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang.[6] Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standardisasi ortografi aksara Jawa.[7] Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, di antaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,[7] dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006.[8][9] KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.
Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926,[1] dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.

Aksara

Sebuah aksara  adalah satuan terkecil yang merepresentasikan suku kata terbuka (Konsonan-Vokal) dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung dari posisinya.[3] Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:
  1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
  2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
  3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua aksara setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Ketika ditransliterasikan ke dalam alfabet Latin, sebuah aksara ditransliterasikan menjadi suku kata, bukan huruf.

Konsonan

Ortografi Jawa modern mengabaikan pelafalan asli sejumlah aksara konsonan yang kemudian dialihfungsikan. Dari 34 bunyi di atas, 20 bunyi menjadi aksara dasar (nglegéna) sementara aksara lainnya dikategorikan sebagai murda dan mahaprana, dengan "bunyi" yang sama dengan aksara nglegenanya.
Beberapa istilah dalam aksara Jawa menurut aturan bahasa Jawa modern:
  • Aksara nglegéna adalah aksara dasar untuk menulis bahasa Jawa modern.
  • Aksara murda atau aksara gedé digunakan pada penulisan suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Seperti terlihat dalam tabel di atas, tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, karena itu apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Misal, "Pakubuwana" ditulis dengan pa, ka, ba, dan na murda. Aksara murda tidak boleh diberi pangkon dan tidak perlu digunakan pada awal kalimat.
  • Aksara mahaprana  adalah aksara yang secara harfiah berarti "dibaca dengan nafas berat". Mahaprana jarang muncul dalam penulisan aksara Jawa modern, oleh karena itu seringkali tidak dibahas dalam buku mengenai aksara Jawa.[2]

Konsonan tambahan

Terdapat beberapa aksara yang dalam perkembangannya dianggap sebagai konsonan. Pa cereknga lelet, dan nga lelet raswadi awalnya adalah konsonan-vokalik /r̥/, /l̥/, dan /l̥:/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa karena pengaruh bahasa Sanskerta. Ortografi kontemporer mengelompokkan ketiganya sebagai aksara konsonan[2]yang bernama ganten atau "pengganti", dengan bunyi masing-masing /ɽə/, /ɭə/, dan /ɭɤ/. Aksara ini didefinisikan sebagai aksara dengan vokal tetap yang menggantikan setiap kombinasi ra+pepela+pepet , dan la+pepet+tarung  .[10] Karena sudah memiliki vokal tetap, ketiga aksara tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal.
Konsonanan tambahan lain meliputi ka sasak dan ra agungKa sasak merupakan penulisan tradisional bunyi /qa/ yang digunakan dalam bahasa Sasak, sedangkan ra agungpernah digunakan oleh sejumlah penulis untuk nama orang yang dihormati, terutama anggota kerajaan.[2]
Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu  di atas aksara yang bunyinya mendekati.[2][4] Aksara semacam itu disebut sebagai aksara rekan atau "aksara rekaan", yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya. Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Tionghoa

.

Wyanjana

Sandhangan wyanjana cakra, cakra keret, dan pengkal berfungsi untuk membentuk gugus konsonan -ra, -re, dan -ya (misalnya "kra", "kre", dan "kya"). Ketiga sandhangan ini awalnya adalah pasangan dari aksara ra, pa cerek, dan ya sebelum dikhususkan menjadi sandhangan tersendiri dalam ortografi Jawa moderen.
Sebagai sebuah pasangan, sandhangan wyanjana bersamaan dengan pasangan wa memiliki sifat panjingan yaitu pasangan yang dapat menempel pada pasangan lain membentuk tiga tumpuk aksara.


Pangkon dan pasangan

Pangkon memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara Brahmi lain, yakni membentuk konsonan akhir dengan menghilangkan vokal inheren suatu huruf dasar. Namun pangkon tidak boleh digunakan untuk konsonan akhir -r, -h, dan -ng karena ketiganya dapat ditulis dengan tanda baca tersendiri. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon.
Pangkon juga hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila aksara mati terjadi di tengah kalimat, aksara tersebut perlu ditempeli dengan pasangan. Misal, aksara na yang dipasangkan dengan pasangan da, akan dibaca nda.[2] Pasangan dianggap sebagai varian dari glif aksara dasar, karena itu suatu aksara dan pasangannya memiliki kode unicode yang sama. Pasangan akan terbentuk apabila aksara didahului oleh pangkon, misalnya "pasangan da" diketik dengan menulis "pangkon+da" 
Pasangan dapat diberi sandhangan, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Sandhangan yang berada di atas diletakkan di atas aksara​ dasar, sementara sandhangan yang berada di bawah diletakkan di bawah pasangan. Sandhangan yang berada sebelum dan/atau sesudah aksara dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh ditempel dengan satu pasangan, atau satu pasangan dengan satu panjingan.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi (''Scriptio continua''), sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.


Tanda baca

Dalam aksara Jawa, tanda baca yang tersedia hanya koma, titik, dan pengapit (berfungsi sebagai tanda kurung atau tanda petik, dengan perbedaan aturan penulisan). Dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa tidak memiliki tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, garis miring, titik dua, titik koma, petik tunggal maupun simbol-simbol matematika umum, seperti tambah, kurang, sama dengan. Namun aksara Jawa memiliki tanda baca-tanda baca khusus yang tidak terdapat dalam sistem penulisan lainnya.
Secara sederhana, tanda baca dapat dibedakan menjadi dua: umum dan khusus. Tanda baca umum digunakan di penulisan biasa, sementara tanda baca khusus digunakan dalam penulisan karya sastra (puisi, dll.)


AKSARA JAWA
Berkas:Hanacaraka-jawa.svg

TULISAN AKSARA JAWA LENGKAP ( BELAJAR AKSARA JAWA LENGKAP )

Apa itu aksara Jawa? Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah Hanacaraka (dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan aksara Brahm...